Genderang
perpolitikan di NTB sudah mulai terdengar. Para ahli ilmu politik dan segenap
politisi diserentakkan seperti dibangunkan dari tidur panjang untuk memberi
respons. Aneka pemikiran pun bermunculan. Dan dari sejumlah partai politik sudah
mulai melakukan promosi atas bakal calon terbaik untuk memperebutkan kursi gubernur
di pilgub NTB yang akan berlansung Mei 2013. Bakal calon gubenur pun masih di ungguli
oleh gubernur incumbent Dr. Zainul Majdi untuk saat ini. Dari sejumlah figur di
usung partai lain belum menunjukkan diri. Sementara bakal calon wagub (cawagub)
sudah banyak dari partai yang bermunculan diantaranya, Wagub incumbent Badrul
Munir, Moh. Amin (sekertaris DPD Golkar) H. Husni Djibril (sekertaris DPD PDI
Perjuangan), dan Jamilludin Malik (Ketua DPC Hanura Sumbawa). Belum tambah lagi
dengan figur-figur partai lain. (Lombok Post, 16/4/2013).
Sikap
dari beberapa partai ini pun menjadi tema yang harus dibicarakan penting dalam
konteks ke NTB-an, kita seolah-olah sedang berhadapan dengan situasi baru yang
lebih terbuka, lebih bebas berbicara, lebih leluasa mempersoalkan perkara
penting ini. Seolah-olah kita ini mahluk baru di dunia politik kita. Situasi
ini mungkin dipandang telah cukup matang buat bicara lebih mendasar. Apa yang
dulu peka sekarang barangkali tak dirasa terlalu peka sekali.
Tak
heran jika di sejumlah pojok kampus, kantor LSM, dan warung makan untuk
membicarakan perkara pilgub pula. Seakan mereka merasa terpanggil. Dan itu
benar. Itu tandanya mereka, sebagai warga negara, merasa bertanggung jawab atas
segenap persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan di NTB dalam jangka masa depan.
Kita perlu berpikir adalah mereka warga negara yang baik. Pilgub, dengan
semangat dan penuh rasa bangga kita sebut sebagai “Pesta demokrasi” itu mulai
dipersoalkan hendak menjadi pesta yang adil. Makna adil di sini tentu saja
jelas, bahwa pilgub jangan sampai lagi dan lagi cuma hannya memenuhi ritus
demokrasi.
Ritus
memang ada dimana-mana, dibidang apa pun yang seperti dalam agama menghendaki
kerutinan. Rutinitas tidak jelek. Tapi bila rutinitas itu yang dijadikan jiwa
dan inti persoalan, ia pasti tidak akan memuaskan. Seperti dalam agama, dalam
politik pun rutinitas cuma kulit. Dilihat dari sudut hukum mungkin sah-sah
saja. Begitu juga dengan persoalan pilgub kita. Sekarang kita berpikir,
berharap dan juga melakukan upaya, agar pilgub kita makin bersih. Ia tak cuma memenuhi
formalitas.
Bersih dari kecurangan
Bersih
dalam pengertian apa? Mungkin bersih
dari prilaku curang, bersih dari tekanan. Bersih dari rasa kecewa. Semua pihak,
pendeknya, saat menjadi saksi, menjadi panitia pengawas pelaksanaan pilgub dan
bertanda tangan, semoga tanda tangan itu menorehkan tanda tangan di atas kertas
bersih.
Pilgub
bersih seperti apa lagi? Bersih karena lega, dan iklas bukan karena adanya rasa
takut atau terpaksa. Dengan begitu secara hukum, sah secara politisi dan sah
secara moral.
Dimana
pikada yang bersih itu? Dimana pilgub yang bebas sama sekali dari kecurangan?
Jika sikap mutlak-mutlakan yang kita tuntut mungkin, kita akan kecewa, dimana pun kita, mungkin tidak
akan menemukanya.
Tapi
bukankah sebagai daerah kita makin dewasa dan karena itu wajar mengusahakan
bersama perbaikan demi perbaikan kualitas hidup ke NTB-an kita termasuk dalam
persolaan pilgub 2013 yang tinggal di menunggu waktu. Tentu saja kita wajib
mengarahkan ke situ. Karena kita punya petugas politik penting yang mesti
dipenuhi di satu bidang. Dan tugas ini mungkin tak bisa di tunda-tunda. Apa pun
alasanya.
Oleh
kaerna itu niat baik kita semua untuk mengwujudkan pilgub yang adil, jujur dan
transparansi merupakan langkah positif dalam kehidupan berpolitik kita di NTB.
Pemikiran kita yang semacam ini merupakan cerminan atas kesadaran sebagai
bentuk kita bermasyarakat dan bernegara. Biar langkah menwujudkan demokrasi tak
tersendat-sendat. Upaya menyebarkan itu di kesemua wilayah di NTB, buat
membentuk kesadaran dan sikap yang lebih tegas dan memihak pada keadilan.
Jika
salah satu pihak yang tidak merasa cocok dengan langkah ini, sudah pasti kita
tidak akan keberatan. Kita membuka dialog. Kita bersama mencoba mencari
ukuran-ukuran bersama yang bisa diterima semua kalangan. Tentunya dalam usaha
ini, para aktivis mahasiswa, LSM dan masyarakat tentu saja sedang membayangkan berfungsinya
proses kontrol sosial-politik agar yang bengkok diluruskan, sedangkan yang
kurang perlu kita tambahkan bersama.
Kita
tak mengada-ada tak sekedar bermimpi. Tindakan bertumpu pada realitas
sosial-politik kita yang menunjukan, betapa lemahnya arti kontrol itu. Atau
mungkinkah penyelengara negara, para pemegang kekuasaan mungkin lebih senang
dengan situasi seperti itu berhenti tanpa diganggu kehendak untuk berubah. Dan
orang bayak punya hak bahkan wajib menyumbangkan pemikiran mereka demi menwujudkan
pilgub yang berkeadilan. Seperti disebut diatas perbaikan-perbaikan kualitas
hidup kita. Juga hidup dibidang politik kita.
Politik
yang sehat bukan hannya harus tercermin dalam pemerintahan yang kuat. Juga
tidak Cuma terwujud dalam stabilitas. Pemerintah kuat, negara stabil, tujuan
kita semua. Tapi kuatnya pemerintah,stabilnya negara baru punya arti penting
bila rakyat pun kuat.. menjadi impian dan tujuan kita bersama dalam menwujudkan
pilgub 2013 NTB yang lebih adil, jujur dan transparansi. Wallahu a’lam bisawab….(Ahyar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar